Tag Archives: Ucapan sulit

UCAPAN YANG SULIT DALAM KITAB-KITAB SYAIR PERJANJIAN LAMA

UCAPAN YANG SULIT

DALAM KITAB-KITAB SYAIR PERJANJIAN LAMA

 

 

  1. “Sekalipun Allah membunuhku, namun aku akan berharap kepadanya”           Ayb. 13:15 (NIV).

Perkataan sulit ini muncul di tengah-tengah suatu pembicaraan (Ayub 12 – 14) yang panjangnya hanya dilebihi oleh perkataan Ayub yang terakhir dalam Ayub 29-31. Ayat-ayat yang di seputar teks tersebut memancarkan keyakinan yang akan Ayub buktikan (Ayb. 13:18). Ia siap untuk membela diri dan perilakunya. Jika diperlukan di hadapan Allah (13:15) prinsipnya dinyatakan dalam ayat 16, “orang fasik tidak akan menghadap kepada-Nya”. Namun itulah yang Ayub nyatakan bahwa ia bukanlah “orang fasik”. Ayub bukan mengatakan bahwa dengan menanggung resiko kematian ia akan membela haknya dan mengartikan perkataannya, sekalipun bila itu membuatnya mati, sebab pandangan ini menyimpulkan bahwa Ayub lebih meremehkan hidup daripada bermaksud mengakhiri penderitaannya dan memperoleh kembali harta miliknya.

Ungkapan “Ia hendak membunuh aku” secara penggambaran itu berarti “tak peduli apapun yang menimpa diriku, aku tetap yakin bahwa aku akan terbukti tak bersalah, sebab aku tahu aku tak bersalah dan aku tahu sifat Allah.

 

  1. “Manusia, yang adalah berenga” (Inggris : maggot) Ayb. 25:16.

Perkataan ini disampaikan oleh Bildad yang mengontraskan ketidaksempurnaan kemanusiawian dengan keagungan Allah. Untuk menyampaikan maksudnya, ia mengubah debat-debat yang disampaikan Elifas dalam Ayub 4:17-19 dan     15:14-16. Sesungguhnya kalimat bagaimana manusia benar di hadapan Allah (25:4) dihasilkan kembali. Kata demi kata dari pertanyaan Ayub dalam Ayub 9:2 bagian kedua dari kalimat dalam ayat 4 kembali dipinjam dari Ayub dalam     Ayub 15:14 “Masakan manusia bersih, masakan benar yang lahir dari     perempuan ?” Jadi pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan berwibawa yang mengiaskan manusia yang dibandingkan berenga atau ulat dalam perspektif yang tepat. Perkataan tersebut tidak boleh dipakai untuk merendahkan kemuliaan atau nilai yang telah Allah tempatkan dalam diri manusia, sebab manusia sungguh dijadikan menurut gambar Allah. Namun tak ada yang lebih dapat menggambarkan hubungan kedudukan dari yang fana jika dibandingkan dengan keagungan Allah, daripada gambaran-gambaran ini untuk manusia sebagai berenga atau ulat yang merayap. Pernyataan ini bukan mutlak tetapi merupakan perbandingan. Hal ini sesuai dengan gambaran pemazmur tentang kepedihan ketika meratapi hamba yang menderita itu. “Tetapi aku ini ulat dan bukan orang” (Mzm. 22:6). Dalam perkataan tersebut, sebagaimana juga dalam Ayub 4:19 dan 15:16, penekanannya terletak pada kerapuhan dan kebobrokan makhluk fana. Manusia sebagai makhluk yang fana, merupakan gambaran yang jelas ketika dibandingkan dengan keagungan dan kesucian Allah.

 

  1. “Aku tidak pernah melihat orang benar ditinggalkan”, Mzm. 37:25

Perkataan Daud ini tidak dapat diartikan dalam pengertian mutlak, sebab ia pasti pernah melihat kebalikan dari apa yang dinyatakannya ini. Bahkan ia sendiri pernah mengalami penderitaan dengan bersungut-sungut bahwa Allah telah melupakannya. Misalnya ia pernah meminta roti kepada Nabal yang kaya. Namun Daud dengan pernyataannya tersebut tidak mempermasalahkan bahwa orang benar mungkin ada kalanya tak berdaya, dianiaya dan miskin. Sebaliknya, ia memperhatikan bahwa tak ditunjukkan dari bagian manapun bahwa orang benar mengalami kekeringan dan kemelaratan yang berkesinambungan atau terus menerus. Atau apa yang nampaknya seperti kekeringan yang berkesinambungan bagi mereka yang melihat hidup jangka pendek, sesungguhnya hanya suatu tahap yang harus dilalui. Kepercayaan penuh kepada Allah akan membuktikan sebaliknya tatkala hidup dilihat dari sudut pandang-Nya. Mazmur ini dirancang untuk mengatasi pencobaan yang menyerang siapa saja dalam keadaan-keadaan yang menakutkan. Isinya mengontraskan antara apa yang bertahan sampai akhir dengan yang sementara.

Bagi mereka yang telah hidup cukup lama di dunia ini untuk melihat bahwa Allah pada akhirnya memperbaiki kesalahan-kesalahan dan membalas semua ketidak adilan. Pengertiannya ialah dalam rentang waktu yang panjang, Allah tidak meninggalkan milik-Nya baik mereka miskin maupun kaya, anak-anak mereka akan diberkati.

 

  1. “Terjagalah ! Mengapa Engkau tidur, ya Tuhan ?” Mzm. 44:24

Mazmur 44 mewakili penemuan jawaban oleh kumpulan orang percaya sesudah mengalami kekalahan militer secara nasional. Mazmur ini mengontraskan kejayaan masa silam (ayat 2–9) dengan bencana yang sedang terjadi (ayat 10–17). Allah kelihatannya tidak menyertai bala tentara Israel (ayat 10) saat mereka pergi berperang. Kekalahan Israel membuat mereka menjadi celaan dan hinaan para musuh mereka (ayat 14–15). Semua ini telah terjadi sekalipun Israel tidak lupa akan Allah (ayat 18–19), namun Allah telah memurukkan mereka dengan kekalahan yang hina (ayat 20). Jadi masalahnya adalah mengapa Allah tidak setia kepada janji-Nya untuk memerdekakan dan membela ? Tetapi di balik semua ini, doa dan pengharapan mereka tetap berpusat pada Tuhan (ayat 24–27). Doa ini dikalimatkan dalam istilah militer. Panggilan agar Allah terjaga dan membangunkan diri-Nya sendiri bukan berhubungan dengan tidur melainkan aksi militer yang serupa dengan yang ada dalam Nyanyian Debora, “Bangunlah, bangunlah Debora ! Bangunlah, bangunlah, nyanyikanlah suatu nyanyian ! Bangkitlah : Barak ! dan giringlah tawananmu, hai anak Abinoam ! Nyanyian perang yang sama dipakai berulangkali ketika Tabut Perjanjian diangkat di depan barisan saat Israel maju berperang (Bil. 10:35). Ungkapan tersebut merupakan doa untuk memperoleh pertolongan Ilahi dalam krisis yang mungkin tetap berlanjut walaupun mereka telah kalah perang. Namun kata terakhit dari Mazmur ini merupakan keyakinan bahwa Allah pasti menolong mereka oleh kasih setia-Nya. Jadi Mazmur ini tidak bertentangan dengan Mazmur yang meyakinkan kita bahwa Allah kita tidak pernah terlelap atau tertidur seperti dalam Mazmur 121:4. Pengertiannya bukanlah merupakan pengertian bahwa Allah tertidur tetapi pengertian seruan kepada Allah agar berjalan maju dengan pasukan yang bersemangat untuk membela nama dan kerajaan-Nya yang kudus.

 

  1. “Manusia boleh disamakan dengan hewan (binatang buas) yang dibinasakan.” Mzm. 49:13

Dalam Mazmur ini, kelihatannya pemazmur sedang berada di tengah-tengah keputusasaan sehingga terlalu mudah untuk membandingkan situasi keputusasaan seseorang dengan keberhasilan yang mewah dari orang fasik. Pemazmur mengatakan bahwa sesungguhnya, kekayaan seseorang tak sanggup menebus pribadinya, keluarga atau harta bendanya, yang fana tak bisa membayarkan tebusan bagi diri mereka sendiri (ayat 8–9). Jika orang fasik yang kaya tersebut mati, apapun harus ditinggalkannya. Itulah sebabnya, dalam pengertian ini kematian adalah pemisah yang dahsyat dari segala kehidupan, baik kehidupan hewan maupun manusia Mereka yang berkedudukan terhormat dan kaya bisa menjadi kasar dan tidak berperikemanusiaan dalam pemikiran dan kehidupan mereka sehingga mereka boleh dijadikan sama dengan binatang. Mereka tidak mempunyai pengertian (ayat 21). Dalam kematian, mereka juga akan seperti binatang yaitu akan binasa.

 

  1. “Orang-orang yang membawa kabar baik itu merupakan tentara yang besar” Mzm. 68:12

Dalam ayat ini dituliskan sebelumnya “Tuhan menyampaikan sabda”. Kata sabda (omer) dalam konteks ini hampir tidak hanya bermakna kabar, ucapan atau kemenangan yang baru diperoleh. Kata ini merupakan kata Ilahi, baik tentang janji (Mzm. 77:9) atau perintah yang disertai dengan kuasa Ilahi (Hab 3:9) atau kata ini adalah sabdanya yang di bagian lain disamakan dengan suara yang dahsyat atau tiupan sangkakala (Mzm. 68:34; Yes. 30:30, Zak. 9:10). Para pembawa kabar baik ini (hamebasserim) adalah para wanita, karena bentuk katanya dalam bahasa Ibrani adalah feminin jamak. Allah menempatkan sabda-Nya ke dalam mulut para pembawa kabar-Nya, yaitu sabda perjanjian dan kuasa di hadapan dunia yang menakutkan ini. Istilah ini sangat erat kaitannya dengan yang terdapat dalam   Yes. 40:9 dan terutama Yoel 2:28-29. Para pembawa berita ini menjadi kelompok besar terdiri dari pribadi-pribadi. Hal ini menggambarkan apa yang akan Alah lakukan pada hari Pentakosta dan setelah itu apa yang Ia perbuat di seluruh dunia melalui lembaga misi besar yang melibatkan begitu banyak wanita.

 

  1. “Di antara para allah Ia menghakimi.” Mzm. 82:1

Dengan menyebut “para allah” (dalam bahasa Ibr. Elohim), tidak berarti Allah mengakui adanya para ilah asing atau mengakui keberadaan dari makhluk supranatural lain seperti diri-Nya, sebaliknya yang dimaksudkan-Nya adalah para hakim dan pelaku hukum-Nya di dunia yang ditetapkan-Nya untuk mewakilidiri-Nya. Tuhan kita mengandalkan para pelaku hukum ini, yang berfungsi sebagai para pejabat dalam pemerintahan yang ditetapkan secara ilahi, untuk memberlakukan tindakan pengurangan dengan cepat atas ketidakadilan dan kekejaman hidup. Penggunaan istilah dalam bahasa Ibrani elohim ini bukanlah sesuatu yang tak wajar seperti pemunculan awalnya. Bagian-bagian lain menjelaskan golongan para penguasa dan hakim Israel sebagai para wakil Allah di bumi. Dengan memakai istilah yang sama, pemazmur menegaskan dalam Mazmur 138:1, “Aku hendak bersyukur kepada-Mu dengan segenap hatiku, di hadapan para allah, aku akan bermazmur bagi-Mu. Tidak mengherankan, jika Mazmur 82:1 dan 6 menggunakan kata yang sama untuk menunjukkan cabang pemerintahan eksekutif atau kehakiman, atau yang oleh para sarjana di masa lampau telah diterjemahkan sebagai “para allah”. Ayat 6 dari Mazmur tersebut menjadikan jelas bahwa yang dimaksudkan sebagai “allah” adalah anak-anak Yang Maha tinggi atau semua orang percaya.

 

  1. “Diubah-Nya hati mereka untuk membenci umat-Nya.” Mzm. 105:25

Perkataan yang sulit ini merupakan salah satu contoh yang di dalamnya kita harus membedakan antara kehendak Alah yang mengijinkan dengan kehendak-Nya yang bersifat perintah berhubung dengan kejahatan. Allah bukan pemrakarsa langsung dari segala sesuatu yang ia ijinkan untuk memuliakan nama-Nya. Para penulis Perjanjian Lama tidak merasa perlu membedakan antara penyebab utama dengan penyebab sekunder. Bagi mereka segalanya diatur dan dirancang oleh Allah. Bahkan doa sendiri tidak muncul tanpa terkontrol. Kesalahan dan tanggung jawab atas dosa, bagaimanapu ditanggung oleh mereka yang telah berdosa. Dalam pengertian inilah Allah mengeraskan hati Firoun, menaruh roh dusta dalam mulut para nabi palsu, melakukan yang jahat atas suatu kota, demikian pula yang baik, dan yang serupa dengan itu. Karena orang-orang khusus dari Perjanjian Lama melihat jari Allah bahkan dalam rincian terkecil dari kehidupan, dan merasa puas dalam pengenalan tertentu bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu. Mereka tidak membedakan dengan tajam antara suatu tindakan yang dipandang sebagai konsekwensi dengan tindakan yang sama yang dipandang sebagai akhir dari tindakan lain. Karena Allah memegang kuasa tertentu dan bahkan sanggup untuk membuat murka seseorang menjadi memuji nama-Nya, kebencian Firaun atas umat Allah boleh dikatakan berasal dari-Nya. Namun dalam pengertian bahwa tindakan ini juga berdosa dan patut dihukum, para pelaku yang sesungguhnya dari kebencian dan persekongkolan tak lain adalah Firaun dan bangsa Mesir sendiri.

 

  1. “Berbahagialah orang yang menangkap dan memecahkan anak-anakmu pada bukit batu !” Mzm. 137:9

Mazmur ini adalah salah satu dari keenam Mazmur yang secara umum tergolong sebagai Mazmur kutukan. Mazmur tersebut adalah Mazmur 55, 59, 69, 79, 109 dan 137. Perkataan-perkataan yang sulit ini merupakan ungkapan logis dari orang-orang kudus dalam Perjanjian Lama bagi pembuktian kebenaran yang hanya bisa dihadirkan oleh keadilan Allah. Ini bukanlah pernyataan pembalasan dendam pribadi, melainkan merupakan ungkapan yang sungguh-sungguh demi kerajaan Allah dan kemuliaan-Nya. Yang pasti, serangan-serangan yang menyebabkan doa-doa ini bukan berasal dari rumah-rumah pribadi, sebaliknya serangan-serangan tersebut dengan benar dinilai sebagai serangan terhadap Allah dan terutama para wakil-Nya dalam garis keturunan Sang Mesias. Doa-doa ini merupakan rasa sangat jijik terhadap dosa dari mereka yang ingin melihat nama Allah dan menyebabkan kemenangan. Mereka yang ditentang dalam doa-doa ini adalah wujud-wujud kefasikan yang mengerikan Permohonan pengutukan ini hanya diulangi dalam doa yang telah Allah nyatakan dimana akan menjadi nasib dari mereka yang telah berlaku kejam dan yang terus menerus melawan Allah dan kerajaan-Nya. Mazmur 137:8-9 ini merupakan Mazmut yang dianggap oleh banyak orang sebagai yang tersulit dari Mazmur-mazmur kutukan. Istilah “berbahagia” dipakai seluruhnya 26 kali dalam Kitab Mazmur dan hanya dipakai untuk para pribadi yang percaya kepada Allah. Istilah ini bukanlah pernyataan suka cita yang bersifat sadis atas kehancuran atau kehancuran orang lain.

Ungkapan “memecahkan anak-anak mu pada bukit batu” biasanya dianggap bertentangan dengan ajaran Perjanjian Baru sehingga kurang perlu untuk membahasnya lebih lanjut. Tetapi istilah-istilah yang sama ini diulangi oleh Perjanjian Baru oleh Tuhan Yesus di dalam Luk. 19:44. Bahkan, kata kerja dalam bentuk bahasa Yunani ditemukan hanya di Mazmur 137:9 (LXX) dan di Lukas 19:44. Ini mungkin merupakan bukti terjelas bahwa Tuhan kita sengaja mengutip Mazmur ini. Istilah yang diterjemahkan sebagai “anak-anak” sebenarnya menyesalkan karena istilah dalam bahasa Ibrani tidak menyatakan usia tertentu. Istilah itu bisa berarti anak yang sangat muda dan yang sudah remaja. Istilah ini menekankan pada hubungan dan bukan pada usia, yang menunjukkan kenyataan bahwa dosa-dosa dari para bapa ternyata diulangi dalam generasi berikutnya. Ungkapan pemazmur ini ditujukan kepada orang-orang Babel dimana Babel tidak memiliki cadas atau bukit-bukit batu. Jadi istilah “memecahkan anak-anak mu pada bukit batu” adalah sebuah penggambaran dan metafora. Secara utuh kalimat tersebut berarti Allah akan menghancurkan Babel dan keturunannya karena penghinaannya yang congkak terhadap Allah dan kerajaan-Nya. Namun mereka yang percaya kepada Allah akan diberkati dan berbahagia.

Jadi Mazmur-mazmur pengutukan ini tidak berisi permohonan atau hasrat “yang jahat” atau “tidak bermoral”, tetapi hanya memohon kepada Allah agar Ia tak membiarkan jabatan Mesias atau kerajaan Mesias diinjak-injak oleh para penganiaya. Congkak dari mereka yang terus mempertahankan jabatan dan fakta tersebut.

 

  1. “Hadiah yang dirahasiakan (disembunyikan) meredakan kegeraman (murka) yang hebat.” Amsal 21:4

Amsal ini tidak dapat dimutlakkan dan disimpulkan bahwa kita harus mengupayakan perdamaian berapapun harganya dan dalam kondisi apa pun. Alkitab mengajarkan bahwa suap jelas tidak dibenarkan. Yang dimaksudkan suap adalah pemberian yang memutar balikkan hukum atau membengkokkan keadilan demi tujuan yang tidak baik/keuntungan pribadi. (Kel. 23:8; Ul. 16:18-19, Ams. 17:8, 23; I Sam. 8:3; Yes. 1:23; Ams. 5:12, Mzm. 26:10; 2 Taw. 19:7.

Tuhan Yesus dalam khotbah di bukit, mendorong para pengikut-Nya untuk memberikan jubah atau tambahan satu mil jika dipaksa untuk memberikan satu mil yang pertama. Tindakan-tindakan serupa itu bisa diartikan dengan baik sebagai pemberian hadiah untuk mengurangi amarah mereka yang berkekuasaan hukum atas mereka. Hadiah seperti ini bukan yang kita sebut suap. Ini adalah hadiah yang diberikan dengan maksud baik untuk mencapai tujuan yang benar.

 

  1. “Didiklah orang muda (anak) menurut jalan yang patut baginya.” Ams. 22:6

Kata kerja dalam ayat tersebut (“didiklah”) dapat ditemukan dalam Ul. 20:5 dan bagian-bagian yang sejajar pada pentahbisan Bait Suci dalam 1 Raja 8:63 dan       2 Taw. 7:5. Dalam bentuk kata benda adalah nama Yahudi dari perayaan Hanuka. Keanekaragaman makna bagi tindakan ini termasuk mempersiapkan seorang anak untuk melayani, mengabdikan seorang anak kepada Allah atau melatih anak untuk kehidupan dewasa. Masalah yang muncul terletak pada kalimat “menurut jalan yang patut baginya” yang seharusnya “menurut jalannya”. Jalan yang dimaksud di sini bukan hanya jalan terbaik yang cocok dengan kepribadian dan sifat-sifat tertentu anak itu, melainkan adalah jalan yang harus ditempuh anak itu sesuai dengan hukum Allah, yaitu jalan yang tepat dalam terang pernyataan Allah.

Selanjutnya dikatakan bahwa “pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” Kata “daripada jalan itu” menunjuk pada pelatihan anak muda yang selalu disesuaikan dengan karya Allah dalam sifat dan keadaan anak tersebut. Tetapi ayat ini bukanlah suatu jaminan tetap bahwa jika kita melatih anak-anak kita pasti akan berhasil. Seperti dalam banyak tulisan lain tentang (amsal) moral yang universal atau tidak jelas, amsal ini memberi tahu kepada kita hanya apa yang terjadi pada umumnya tanpa menyiratkan bahwa tak ada perkecualian bagi peraturan ini. Pernyataan tersebut disebut amsal, bukan janji. Tetapi, hal ini adalah prinsip umum yang menetapkan standar mayoritas.

 

  1. “Bila tidak ada wahyu (visi), menjadi liarlah (binasa) rakyat.” Ams. 29:18

Istilah wahyu atau penglihatan tidak berbicara tentang kemampuan seseorang untuk merumuskan sasaran-sasaran dan rencana-rencana di masa mendatang atau suatu visi yang dapat dirumuskan. Sebaliknya, kata itu merupakan sinonim untuk istilah nubuat itu sendiri. Kata itu adalah yang dilakukan oleh seorang nabi. Kata itu berarti penglihatan nubuat, pernyataan yang datang sebagai firman Allah. Kata ini sama seperti di dalam 1 Sam 3:1. Istilah kedua adalah “liar” yang sering disalah mengerti. Ini bukan membicarakan kehancuran gereja-gereja bersama komisi-komisi perencana yang tidak aktif atau menjadi liarnya bangsa-bangsa lain yang tidak terinjili yang akan mati dalam dosa mereka jika mereka tidak segera dicapai seseorang. Istilah “liar” (KJV) berarti “membuang segala kekang”. Istilah ini memperingatkan dengan jelas bahwa dimana firman Allah itu diam sehingga tak lagi mengomentari situasi tempat itu, maka akibatnya menakutkan. Rakyat menjadi tak bisa diperintah pada saat mereka menyingkirkan segala yang pantas dan sopan demi hasrat murahan yang mereka ingini menuntut selera mereka sendiri.

 

  1. “Tak ada yang lebih baik bagi manusia daripada makan dan minum dan bersenang-senang (menemukan kepuasan).” Pengkh. 2:24

Terjemahan dari teks tersebut kurang benar. Jika diterjemahkan secara harafiah, maka teks ini menjadi “Tak ada kebaikan dalam diri manusia bahwa ia (pria dan wanita) harus bisa makan, minum atau merasa puas karena pekerjaannya. Saya menyadari, bahwa hal ini pun berasal dari tangan (atau kuasa) Allah.” Terjemahan ini menghindari bagian kalimat “tak ada yang lebih baik.” Maksud dari pengkhotbah ini bukanlah keputusasaan, tetapi apa pun yang baik atau berharga harus ditemukan, nilainya tak bisa ditentukan hanya dengan menjadi bagian dari umat manusia. Kita sebagai makhluk yang fana haruslah menyadari bahwa jika kita harus mencapai kepuasan dan kesenangan dari apa pun dalam hidup. Bahkan hal-hal duniawi seperti makan dan minum, maka kita harus menyadari bahwa segalanya ini berasal dari tangan Allah. Sumber kesenangan, suka cita dan kebaikan tidak menetap dalam diri manusia tetapi hanya di dalam Tuhan.

 

  1. “Karena nasib manusia adalah sama dengan nasib binatang.” Pengkh. 3:19

Istilah “nasib” adalah terjemahan yang berlebihan. Istilah yang muncul di sini hanya istilah “kejadian”. Tidak ada pernyataan-pernyataan yang dibuat untuk memberikan kemungkinan nasib baik dan buruk. Itu semata-mata fakta bahwa suatu kejadian, suatu peristiwa, suatu peristiwa. Sebut saja, kematian, mengambil alih segalanya dari kefanaan. Selanjutnya dikatakan bahwa “kedua-duanya menuju satu tempat”. Tempat yang dimaksudkan di sini adalah kuburan, dan bukan suatu keadaan yang terlupakan atau ketiadaberadaan. Manusia dan binatang terbuat dari debu dan kepada debu mereka akan kembali. Dalam ayat yang sama, pernyataan “siapakah yang mengetahui” bukanlah memberi tahu kita suatu pertanyaan yang tak terjawabkan. Pernyataan tersebut merupakan pendapat retorik yang menghimbau kita untuk ingat bahwa Allah lah yang tahu perbedaan antara manusia dengan binatang, dan bahwa nafas atau sosok berjiwa yang satu adalah kekal sifatnya, sedangkan nafas yang lain bersifat fana. Itu sebabnya nafas manusia “naik” kepada Allah dan nafas binatang dikatakan “turun” ke kuburan sama seperti daging yang lebur menjadi debu.

 

 

  1. “Janganlah terlalu saleh, janganlah perilakumu terlalu berhikmat.” Pengkh. 7:16

Ayat ini tidak memperingatkan mereka yang baik atau yang terlalu saleh atau terlalu teguh dalam iman mereka. Hal ini dapat diketahui dari kata kerja “berhikmat” yang harus diartikan sesuai dengan bentuk kata kerja dalam bahasa Ibrani, “merasa diri diperlengkapi dengan hikmat.” Dengan demikian masalahnya sama dengan Amsal 3:7 “Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak.” Jadi ayat tersebut bukanlah melarang orang terlalu saleh atau terlalu berhikmat, tetapi ini adalah masalah penipuan diri dan masalah memiliki super ego yang membutuhkan tambahan kerendahan hati dengan dosis tinggi. Jika manusia menjadi terlalu suci, terlalu benar dan terlalu berhikmat dalam pandangan mereka sendiri, maka mereka menjadi terlalu suci dan terlalu berhikmat bagi setiap orang, yang tentu saja bukan dalam kenyataan melainkan dalam penilaian diri mereka sendiri. Melalui ayat ini, pengkhotbah memperingatkan orang-orang yang demikian.

 

  1. ‘Minumlah air dari kulahmu sendiri” Amsal 5:15

Amsal 5:15-21 diklasifikasikan sebagai sebuah alegori. Hal itu membawa hubungan yang sama dengan sebuah kiasan seperti suatu perumpamaan dan bagian dari persamaan. Amsal 5 ini memunculkan perkataan tentang air. Tetapi ayat 17 menerangkan bahwa air tersebut harus menjadi kepunyaannya sendiri, orang lain jangan mengambil bagian. Ketika ayat 18 mengatakan perkataan “bersukacitalah dengan istri masa mudamu” maka hal itu menjadi tanda pertama bagi kita bahwa air yang dimaksud adalah sebuah alegori. Salah satu aturan penafsiran alegoris adalah melihat seluruh konteks. Seluruh bagian pertama dari pasal ini merupakan sebuah peringatan untuk menjauhi perjinahan. Konteks yang diberikan sesuai dengan pernyataan “bersukacitalah dengan istri pada masa mudamu” seperti yang dikatakan dalam alegori ini adalah kenikmatan dan kesetiaan dari hubungan suami istri yang berlawanan terhadap perjinahan dengan wanita jalang. Ayat 19 menggambarkan hubungan dalam pernikahan sebagai “rusa yang manis, kijang yang jelita” yang merupakan kiasan dari keindahan pasangan yang dimilikinya atau istrinya sendiri. Ada lima kata yang berbeda yang digunakan untuk istilah “air” yaitu kulah, sumur, mata air, batang-batang air dan sendang. Kelimanya adalah istilah yang diberikan untuk istri sebab dia mampu untuk memuaskan hasrat suaminya. Gagasan dari hal ini adalah jadilah puas berhubungan dengan istrimu sendiri. Mendapat kepuasan dan kenikmatan dari istri sendiri lebih baik dari pada pergi ke tempat lain untuk merasakan kulah atau mata air wanita lain. Alkitab menekankan untuk memlihara kesetiaan hubungan suami istri dan menghargai kesetiaan ini sebagai jalan terbaik untuk kebahagiaan. Allah memanggil kita untuk hidup kudus di hadapan-Nya dan setia terhadap janji pernikahan.

 

  1. “Selamatkan orang yang terhuyung-huyung menuju tempat pemancungan” Amsal 24:11.

Dalam ayat ini ada dua hal yang secara literal dinyatakan yaitu menyelamatkan orang yang ada di dalam penjara yang sedang menunggu kematian dan menyelamatkan orang yang akan dieksekusi. Tetapi orang yang terancam kematian ini tidak bersalah dan telah dihukum dengan tidak adil. Beberapa orang menganggap kata “dibunuh” dan “pemancungan” sebagai kiasan untuk penindasan orang miskin. Tetapi tidak ada dalam teks yang mendukung penafsiran metafora tersebut. Ayat 12 menuntut seseorang yang tidak sadar terhadap permasalahan tersebut atau alasan tersebut tidak cukup menyangkal kepekaan seseorang untuk menolong. Ayat 12 menguatkan karakter religius dari panggilan untuk melakukan sesuai ayat 11. Orang-orang yang tidak mengaku dan pura-pura tidak tahu tidak dapat mengelak dari pandangan Allah.Teks tersebut memanggil untuk terlibat aktif dimana kita telah menyadari akan hal tersebut. Apakah hal itu memberi kuasa untuk semua aksi penyelamatan adalah sebuah pertanyaan yang ada di luar ketentuan kita di sini. Yang pasti hal itu tidak berarti bahwa orang-orang percaya akan berbuat main hakim sendiri atau sama sekali mereka tidak melakukannya yang dikarenakan mereka menganggap bahwa pernyataan tersebut keliru. Tetapi akan datang saatnya ketika kita harus memilih dan melakukan seluruh kebenaran tersebut dengan kekuatan kita untuk menyelamatkan seseorang yang diperlakukan tidak adil menurut Alkitab.

 

  1. “Berikanlah minuman keras itu kepada orang yang akan binasa” Amsal 31:6

Amsal ini dimulai dengan peringatan bagi kita terhadap anggur dan minuman keras yang akan menyebabkan seorang raja melakukan kompromi terhadap integritasnya. Jika seorang raja menjadi peminum sehingga lari dari tugas dan beban yang harus dikerjakannya, maka ia kan menjadi ketakutan dan kehilangan keberanian untuk tugas-tugas yang diberikan kepadanya (4-5). Minuman keras akan menguasai kekuatan vitalnya, pikirannya menjadi tidak bersih, tidak dapat diperkirakan, tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak sesuai dengan hal yang semestinya. Di sisi lain, raja didorong untuk memberikan anggur dan minuman keras kepada orang yang membutuhkan jalan keluar dari beban yang sangat berat. Apakah hal ini hanya untuk orang-orang hukuman yang telah diancam hukuman mati ataukah untuk semua, tidak dapat ditentukan dari teks ini. Hal ini adalah benar bagi orang yang diancam hukuman dengan diberi minuman yang khusus bagi mereka yang akan dieksekusi. Mungkin didasarkan pada amsal ini ketika wanita Yerusalem memberikan air masam kepada Yesus saat ia haus di atas kayu salib. Tetapi Yesus menolaknya sebab dia ingin menanggung penderitaan untuk memberikan hidup-Nya (Mark. 15:23). Orang-orang yang menjadi pecandu alkohol mengambil Mazmur 104:15 (“Anggur menyukakan hati manusia” dan mengangkat jiwa seseorang dari penderitaan dan kemiskinannya), untuk membenarkan diri. Tetapi supaya Amsal 31:6-7 juga jangan dipakai sebagai pembenaran penggunaannya untuk orang yang miskin dan menderita, maka yang harus diingat adalah amsal ini mengarah pada pembuatan sebuah perbandingan keadilan. Kebiasaan minum mungkin melupakan kemiskinan dan kekacauan hidup mereka. Di sisi lain seorang raja menjadi berbahaya dari melupakan hukum dan menipu orang-orang yang membutuhkan pertolongan jika ia diangkat dari gaya hidup yang demikian. Amsal ini lebih menekankan tentang raja-raja peminum daripada memberikan perintah kepada orang-orang umum.

 

  1. “Aku akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan” Pengkhotbah 12:14

Peringatan bahwa segala sesuatu yang dilakukan di bumi harus dipertanggungjawabkan di hari terakhir tidak dimaksudkan untuk membuat takut orang, tetapi agar mereka menahan diri dan hidup kudus. Ketidakadilan dalam dunia ini demikian buruk dan sangat tercela. Allah telah menyediakan jalan bagi perbaikan perbuatan-perbuatan yang salah tersebut melalui pengadilan hukum manusia. Tetapi perasaan lega yang terakhir akan datangdi masa datang, saat Hakim terakhir, Tuhan sendiri datang membersihkan semua yang salah. Hal yang sama tentang pengadilan terakhir ini juga ditulis dalam Pkh 3:17; 9:1; 11:9. Kenyataannya “Pengkhotbah” percaya akan pengadilan sesudah kematian dan menantikan semua kebenaran yang tidak ditegakkan di bumi menjadi kebenaran yang ditegakkan pada hari tersebut oleh Tuhan. Sejak adanya kehidupan dan sejak manusia diciptakan Allah, segala perbuatan apapun, bahkan yang tersembunyi akan dihakimi pada hari terakhir oleh Tuhan yang mengetahui segala sesuatu dengan sempurna. Rasul Paulus dalam 2 Korintus 5:10 juga mengajarkan tentang hal ini, “Sebab kita semua harus menghadap tahta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat.”

 

  1. “Cinta kuat seperti maut” Kidung Agung 8:6-7

Kitab Kidung Agung ditulis oleh Raja Salomo melalui pengilhaman Allah. Kidung Agung 8:5-7 merupakan perkataan gadis Sulam yang dialamatkan kepada seorang laki-laki yang dikasihinya, dimana ia menyanyikan puji-pujian dan merayu dengan cinta. Ia mendiskripsikan bahwa cinta memiliki 5 elemen yang berbeda. Pertama, cinta kuat seperti maut. Kekuatannya tidak akan goyah dan tidak dapat dihalangi seperti kematian itu sendiri. Seseorang tidak dapat melawannya atau menolaknya, bahkan cinta itu hanya dapat dibandingkan dengan maut. Kedua, kecemburuan (kegairahan) cinta. Kokoh/tegar seperti dunia orang mati. Kata cemburu memiliki arti positif dan negatif dalam Alkitab. Dalam Kel. 20:5; Ul. 5:9; Kel.34:14, “cemburu” dipakai sebagai hal yang positif untuk Tuhan. Dalam konteks ini, penekanan cinta adalah cemburu “kepada seseorang”, bukan karena seseorang”. Ini adalah manifestasi dari cinta sejati dan perhatian yang protektif. Cinta juga “kejam” dan “keras” kokoh dan tegar dalam hasratnya kepada orang yang dicintainya. Akhirnya cinta ini akan hilang, meskipun ia sangat “dalam”, “tidak mengenal ampun dan “keras” seperti dunia orang mati. Ketiga nyala cinta seperti nyala api Tuhan. Cinta yang dimaksud di sini tidak muncul semata-mata dari naluri kedagingan, tetapi berasal dari Tuhan sendiri. Tuhan adalah sumber yang benar dari cinta suami istri. Nyala cinta dalam hati laki-laki atau perempuan dinyalakan oleh Allah yang membuatnya. Dalam bingkai perkawinan, nyala cinta datang dari Tuhan. Keempat, tidak mungkin menenggelamkan cinta ini dengan air yang banbyak atau bahkan dengan banjir. Kelima, cinta tidak dapat dibeli dengan harga berapapun. Ini adalah sisi keluhuran dari cinta dan datangnya dari Allah. Cinta tidak dapat dibeli atau dijual berapapun harganya. Seluruh teks ini mengetengahkan cinta fisik dari lingkup pernikahan yang kuat, yang tidak dapat dipadamkan dan yang berasal dari Tuhan.